Chelonia (Penyu Laut)
Chelonia
(Penyu Laut)
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyu merupakan
reptil yang hidup di laut serta mampu bermigrasi dalam jarak yang jauh di
sepanjang kawasan Samudera Hindia, Samudra Pasifik dan Asia Tenggara.
Keberadaannya telah lama terancam, baik dari alam maupun kegiatan manusia yang
membahayakan populasinya secara langsung maupun tidak langsung. Jumlah ini
sebenarnya masih menjadi perdebatan karena Nuitja (1992) menyebutkan hanya lima
jenis yang ditemukan, dimana Caretta caretta dinyatakan tidak ada. Namun
demikian, beberapa peneliti mengungkapkan bahwa Caretta caretta memiliki daerah
jelajah yang meliputi Indonesia (Limpus et al. 1992, Charuchinda et al. 2002).
Pergeseran fungsi lahan yang menyebabkan kerusakan habitat pantai dan ruaya
pakan, kematian penyu akibat kegiatan perikanan, pengelolaan teknik-teknik
konservasi yang tidak memadai, perubahan iklim, penyakit, pengambilan penyu dan
telurnya serta ancaman predator merupakan faktor-faktor penyebab penurunan
populasi penyu.
Selain itu,
karakteristik siklus hidup penyu sangat panjang (terutama penyu hijau, penyu
sisik dan penyu tempayan) dan untuk mencapai kondisi “stabil” (kelimpahan
populasi konstan selama 5 tahun terakhir) dapat memakan waktu cukup lama
sekitar 30–40 tahun, maka sudah seharusnya pelestarian terhadap satwa langka
ini menjadi hal yang mendesak. Kondisi inilah yang menyebabkan semua jenis
penyu di Indonesia diberikan status dilindungi oleh Negara sebagaimana tertuang
dalam PP Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa
yang Dilindungi.
Indonesia merupakan salah satu Negara dengan kekayaan
flora dan fauna yang sangat tinggi. Ditinjau dari manfaatnya, kekayaan flora
dan fauna di Indonesia memberikan sumbangan yang sangat penting bagi keseimbangan
kehidupan di bumi ini. Yang harus selalu diingat bahwa setiap mahluk hidup
didunia diciptakan dengan perannya masing-masing. Jadi punahnya satu jenis
flora dan fauna sedikit banyak akan mengganggu keseimbangan alam.
Ironisnya, selain salah satu Negara dengan kekayaan
hayati yang tinggi, Indonesia juga merupakan salah satu Negara yang mempunyai
laju kepunahan jenis yang tinggi. Saat ini kekayaan flora dan fauna Indonesia
menghadapi tekanan yang sangat tinggi, sehingga banyak diantarannya berada
dalam kondisi yang hampir punah. Tekanan yang ada diakibatkan tingginya laju
perubahan tata guna lahan (habitat alami satwa dikonversi menjadi lahan-lahan
pertanian dan semakin maraknya penebangan hutan secara liar).
Kondisi ini diperparah dengan semakin tingginya perburuan
liar yang terjadi di Indonesia saat ini. Ini diakibatkan tingginya permintaan
pasar terhadap jenis satwa-satwa liar eksotis dan langka menyebabkan laju
perburuan liar hampir-hampir tidak bisa dikendalikan lagi. Salah satu dari
kekayaan fauna di Indonesia adalah spesies penyu. Enam dari tujuh spesies penyu
yang ada di dunia ditemukan di perairan Indonesia dan bertelur di beberapa
pantai di negeri ini.
Oleh karena itu kita sebagai masyarakat dihimbau untuk
dapat membantu pemerintah dalam usaha pelestarian satwa liar dengan
mendukung upaya pelestarian penyu, serta mencoba mengembalikan peran satwa
penyu didalam habitatnya. Dengan berlatar belakang hal tersebut maka kami
membuat makalah ini, agar pembaca mengerti bagaimana kehidupan satwa di Indonesia.
BAB II
ISI
Gerakannya yang unik dan khas seakan menggambarkan
kelihayan perenang dasar laut yang mempesona. Ini mungkin bisa menggambarkan
betapa unik dan indah melihat penyu laut berenang bebas dibawah permukaan laut.
Dengan menggerakkan kedua kaki renang depan untuk mengontrol gerakan dan
kecepatan, hewan ini bergerak gesit di dasar laut. Juga dengan bantuan kaki
belakang sebagai penyeimbang seakan memberikan kesempurnaan gaya renang yang
memukau.
Ada beberapa jenis (species) penyu laut yang hidup di
perairan . Diantaranya penyu hijau atau dikenal dengan nama green turtle (Chelonia mydas), penyu sisik atau
dikenal dengan nama Hawksbill turtle (Eretmochelys imbricata), penyu lekang atau
dikenal dengan nama Olive ridley turtle (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing atau
dikenal dengan nama Leatherback turtle (Dermochelys olivacea), penyu pipih atau
dikenal dengan nama Flatback turtle (Natator depressus) dan penyu tempayan atau
dikenal dengan nama Loggerhead turtle (Caretta caretta). Dari jenis ini
Penyu Belimbing adalah penyu terbesar dengan ukuran mencapai 2 meter dengan
berat 600 – 900 kg. Yang terkecil adalah penyu lekang dengan ukuran
paling besar sekitar 50 kg.
Penyu Hijau (Chelonia
mydas)
Jenis penyu hijau, atau yang biasanya dikenal dengan nama
Chelonia mydas adalah penyu laut besar yang termasuk dalam keluarga
Cheloniidae. Hewan ini adalah satu-satunya spesies dalam golongan Chelonia.
Mereka hidup di semua laut tropis dan subtropis, terutama di Samudera Atlantik
dan Samudera Pasifik. Namanya didapat dari lemak bewarna hijau yang terletak di
bawah cangkang mereka.
Penyu hijau dapat diidentifikasi berdasarkan adanya
sepasang sisik prafrontal yang merupakan sisik diantara kedua matanya. Ciri
identifikasi ini mirip seperti penyu belimbing dan penyu tem payanyang
mempunyai dua pasang prafrontal. Penyu hijau dapat dibedakan dari penyu pipih
oleh tidak adanya sisik praokular dan karapaks yang seperti kubah. Penyu ini
pada karapaksnya terdapat empat pasang sisik dan disekitar mata terdapat dua
pasang sisik. Sisik pada jenis penyu ini tidak tumpang tindih. Panjang karapaks
penyu ini yang pernah dijumpai adalah 75-115 cm dan beratnya mencapai 300 kg.
Penyu hijau memakan semua jenis tumbuh-tumbuhan yang
hidup dilaut (mis; ganggang laut, lamun, lumut dan ikan). Musim kawin dari
penyu ini berlangsung antara Januari dan Mei. Penyu betina dapat bertelur
antara 100 sampai 125 butir dalam sekali bertelur. Waktu pengeraman terjadi
sekitar 50 sampai 60 hari. Usia penyu ini dapat mencapai 200 tahun. Penyu hijau
terdapat dimana-mana diperairan tropik dan subtropik. Di Indonesia, penyu ini
terdapat diperairan pantai Jawa, Bali, Sumatera dan mungkin di semua perairan
pantai yang landai di Indonesia. Di Bali, dagingnya di konsumsi (dimakan) dan
karapaksnya dijadikan kerajinan tangan untuk para wisatawan.
Penyu hijau adalah salah satu jenis penyu laut yang umum
dan jumlahnya lebih banyak di banding beberapa penyu lainnya. Jenis
seperti penyu belimbing di laporkan telah sangat berkurang jumlahnya dan
termasuk salah satu jenis yang hampir hilang di perairan , hanya beberapa
tempat yang masih sesekali menjadi tempat memijah bagi jenis penyu ini. Penyu
belimbing adalah penyu yang di lindungi dan masuk dalam CITES (Convention on
International Trade of Endangered Species) Appendix.
Sebenarnya, penyu hijau dari dulu secara ekstensif telah
diburu di indonesia, terutama untuk dagingnya, telurnya juga dapat dikumpulkan
dalam skala besar. Oleh karena itu, populasi dari penyu hijau di Indonesia
menurun dengan cepat. Tukik penyu hijau yang berada di sekitar teluk California
hanya memakan alga merah. Penyu hijau akan kembali ke pantai asal ia dilahirkan
untuk bertelur setiap 3 hingga 4 tahun sekali. Ketika penyu hijau masih muda
mereka makan berbagai jenis biota laut seperti cacing laut, udang remis, rumput
laut, juga alga. Ketika tubuhnya mencapai ukuran sekitar 20-30 cm, mereka
berubah menjadi herbivora dan makanan utamanya adalah rumput laut.
Penyu hijau merupakan jenis penyu yang paling sering
ditemukan dan hidup di laut tropis. Dapat dikenali dari bentuk kepalanya yang
kecil dan paruhnya yang tumpul. Dinamai penyu hijau bukan karena sisiknya
berwarna hijau, tapi warna lemak yang terdapat di bawah sisiknya berwarna
hijau. Tubuhnya bisa berwarna abu-abu, kehitam-hitaman atau kecokelat-cokelatan.
Klasifikasi Penyu hijau menurut Linnaeus
adalah :
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Reptilia
Ordo
: Testudinata
Famili
: Cheloniidae
Genus
: Chelonia
Spesies
: Chelonia mydas L. (Tanjung, 2001).
Morfologi Penyu
Sesuai dengan namanya, warna tubuh,
lemak dan dagingnya agak kehijau-hijauan. Penyu hijau dewasa hidup di hamparan padang lamun
dan ganggang. Berat Penyu hijau dapat mencapai
400 kg, namun di Asia Tenggara yang tumbuh paling besar
sekitar separuh ukuran ini. Penyu hijau di Barat Daya kepulauan
Hawai kadang kala ditemukan mendarat pada waktu siang untuk berjemur
panas. Anak-anak Penyu hijau (tukik), setelah menetas, akan menghabiskan
waktu di pantai untuk mencari makanan. Tukik Penyu hijau yang
berada di sekitar Teluk California hanya
memakan alga merah. Penyu hijau akan kembali ke pantai asal
ia dilahirkan untuk bertelur setiap 3 hingga 4 tahun sekali (Nuitja, 1992).
Perisai
atau karapasnya berbentuk hati dengan tepi rata, jumlah keping kostal 4
pasang,berwarna hijau cokelat dengan bercak tua sampai hitam. Keping kostal
ukuran lebarnya hampir dua kali di banding dengan lebar keping vertebral.
Keping marginalnya relatif sempit. Kepalanya memiliki sepasang sisik prefrontal
yang lebar dan mempunyai tepi yang berwarna putih. Kaki depannya dipenuhi
dengan sisik yang relatif berukuran sama, sehingga jari-jarinya tidak terlihat
jelas (Ali,2004).
Ciri morfologi Penyu hijau menurut Hirt (1971) dan
Bustard (1972)dalam (Tanjung dkk, 2001) adalah terdapatnya sepasang
prefrontal atau sisik pada kepala. Memiliki sisik perisai punggung (dorsal
shield) yang tidak saling berhimpit, mempunyai empat pasang sisik
samping yang tesusun bujur pada permukaan kepala dari arah kepala ke ekor (costal
scute), dimana pasangan sisik samping pertama tidak menyentuh Nuchal. Pada
bagian pinggir karapas terdapat 12 pasang Marginal Scute ,
kaki depan berbentuk pipih seperti dayung, terdapat sebuah kuku pada kaki depan
yang besar.
Ekosistem
dan Rantai Makanan Penyu
I. Ekosistem
Laut Pesisir Pantai
Ekosistem pesisir dan
laut merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan mempunyai nilai
ekologis dan ekonomis yang tinggi. ekosistem pesisir dan laut juga
memiliki fungsi-fungsi ekologis penting, antara lain sebagai penyedia nutrien,
sebagai tempat pemijahan, tempat pengasuhan dan tumbuh besar, serta tempat
mencari makanan bagi beragam biota laut. Di samping itu, ekosistem pesisir dan laut
berperan pula sebagai pelindung pantai atau penahan abrasi bagi wilayah daratan.
Dunia mengenal tujuh
jenis penyu, dan enam diantaranya hidup di Indonesia. Enam penyu tersebut
adalah penyu hijau (Chelonia mydas),
penyu sisik (Eretmochelys imbricata/Hawksbill
Turtle), penyu pipih (Natator
depressa), penyu abu-abu (Olive
ridley turtle), penyu belimbing (Dermochelys
coriacea), penyu merah atau penyu tempayan (Caretta caretta). Satu penyu lainnya, yang hanya hidup di antara
Laut Meksiko dan Lusiana, Amerika Serikat, adalah Leupidocalis caspri. Dari
enam penyu yang ada di Indonesia salah satunya penyu hijau (Chelonia mydas) yang bertelur di Pantai
Ujung Genteng. Melihat sifat fisik dari wilayah Pantai Selatan Jawa tentunya
memiliki kontur yang curam. Kondisi topografi berupa kombinasi antara dataran
rendah (pantai), bukit dan pegunungan.
Pantai Pangumbangan
maka dapat dikatakan Pantai Pangumbahan termasuk jenis Pantai berpasir halus.
Hal ini didasarkan pada pola hidup penyu yang hanya hidup dan mendarat di
pantai yang berpasir halus kaya akan nutrient untuk tempat menetaskan telurnya.
Kemudian kondisi pantai yang berhubungan langsung dengan samudera, meskipun
bila diperbandingkan dengan beberapa pantai lain yang ada di Pantai Selatan
seperti Pantai Sayang Heulang di Garut yang termasuk pada pantai berbatu.
II. Ekosistem
Pantai Berpasir Halus
Pantai berpasir
dicirikan oleh ukuran butiran sedimen halus dan memiliki tingkat bahan organik
yang tinggi, pantai ini pula banyak dipengaruhi oleh pasang surut yang mengaduk
sedimen secara periodik. Interaksi organisme dengan sedimen dan pengaruh
evaporasi perairan sangat tinggi di lingkungannya. Faktor fisik yang berperan
penting mengatur kehidupan di pantai berpasir adalah gerakan ombak. Gerakan
ombak ini mempengaruhi ukuran partikel dan pergerakan substrat di pantai. Jika
gerakan ombak kecil, ukuran partikelnya kecil, tetapi jika gerakan ombak besar
atau kuat, ukuran partikelnya akan menjadi kasar dan membentuk deposit kerikil.
Pengaruh ukuran
partikel terhadap organisme yang hidup pada pantai tersebut adalah pada
penyebaran dan kelimpahannya. Butiran pasir yang halus mempunyai retensi air
yang mampu menampung lebih banyak air di atas dan memudahkan organisme untuk
menggali. Gerakan ombak dapat pula mengakibatkan partikel-partikel pasir atau
kerikil menjadi tidak stabil sehingga partikel-partikel substrat akan
terangkut, teraduk, dan terdeposit kembali. Karena kondisi di lapisan permukaan
sedimen yang terus menerus bergerak, maka hanya sedikit organisme yang mempunyai
kemampuan untuk menetap secara permanen sehingga inilah yang menyebabkan pantai
seperti terlihat tandus.
Faktor lingkungan
seperti suhu, kekeringan, serta gerakan ombak beraksi secara beragam pada tiap
pasang surut. Kekeringan bukan merupakan masalah selama pasir pantai cukup
halus sehingga dapat menahan air melalui kegiatan kapiler selama pasang turun.
Pasir juga merupakan penyangga yang baik bagi perubahan suhu dan salinitas yang
besar.
III. Rantai
Makanan Pantai Berpasir Halus
Rantai makanan adalah perpindahan
energi makanan dari sumber daya tumbuhan melalui seri organisme atau melalui
jenjang makan (tumbuhan-herbivora-carnivora). Pada setiap tahap pemindahan
energi, 80%–90% energi potensial hilang sebagai panas, karena itu
langkah-langkah dalam rantai makanan terbatas 4-5 langkah saja. Dengan
perkataan lain, semakin pendek rantai makanan semakin besar pula energi yang
tersedia.
Ada dua tipe dasar rantai makanan:
1. Rantai makanan rerumputan (grazing food chain). Misalnya: tumbuhan-herbivora-carnivora.
2. Rantai makanan sisa (detritus food chain). Bahan mati mikroorganisme (detrivora = organisme pemakan sisa) predator.
1. Rantai makanan rerumputan (grazing food chain). Misalnya: tumbuhan-herbivora-carnivora.
2. Rantai makanan sisa (detritus food chain). Bahan mati mikroorganisme (detrivora = organisme pemakan sisa) predator.
Organisme yang berada
di pantai berpasir mempunyai kemampuan beradaptasi dengan dua cara yaitu dengan
menggali substrat sampai kedalaman yang tidak lagi di pengaruhi gelombang yang
lewat, kemampuan menggali substrat dengan cepat ketika gelombang lewat
memindahkan organisme dari substrat. Adaptasi lain, kebanyakan molusca yang
mengubur dirinya cenderung mempunyai cangkang yang licin dan berat. Adaptasi
terakhir adalah mencegah terjadinya penyumbatan permukaan alat pernapasan yaitu
dengan penyaring (sekat) yang dapat mencegah pasir masuk kedalamnya tetapi air
dapat masuk.
Penyebaran dan Habitat Penyu
Sebaran Penyu hijau terdapat di Indo-Pasifik,
Samudera Atlantik, Teluk Meksiko, sepanjang pesisir Argentina, di Laut
Mediterania. Habitat Penyu hijau ini hidup di perairan tropis dan
sub-tropis di sekitar pesisir benua dan kepulauan. Penyu hijau juga
diketahui sering terdapat di antara terumbu karang pada daerah laut lepas.
Kemampuan migrasi Penyu hijau pada beberapa populasi dapat mencapai
jarak 2.094 kilometer dari habitat peneluran menuju habitat mencari makan.
Meskipun daya jelajahnya sampai ribuan kilometer, uniknya Penyu hijau
hanya bereproduksi di tempat yang sama berdasarkan navigasi medan magnet
bumi. Di Indonesia, jenis penyu ini tersebar di sekitar perairan tropika, laut
seluruh Indonesia dan Papua Nugini. Hewan ini baru bisa mencapai usia dewasa
sekitar 30-50 tahun. Jadi, Penyu hijau memiliki siklus kehidupan yang
panjang, namun tingkat kehidupannya rendah (Ali, 2004).
Tingkah Laku
dan Kegiatan Bertelur Penyu
Perilaku bertelur Penyu hijau umumnya sama
dengan penyu-penyu lainnya. Penyu hijau menjadi primadona penangkar
penyu, karena saat bertelurnya selalu tepat waktu, yaitu setiap 15 hari sekali,
dengan melakukan 4 sampai 6 kali pendaratan untuk bertelur di waktu malam hari.
Selain itu, Penyu hijau merupakan satwa yang unik, karena secara insting,
merekan akan hidup dan kembali bertelur ke tempat dimana mereka ditetaskan. Sama halnya
dengan penyu-penyu lain, Penyu hijau sangat peka terhadap getaran,
kebisingan, lampu, dan berbagai aktivitas yang ditimbulkan oleh manusia.
Gangguan-gangguan tersebut kerap kali menghantui penyu yang hendak bertelur (Ali,2004).
Betina Penyu hijau berukuran
besar dalam sekali bertelur dapat menghasilkan sampai 200 butir telur,
sedangkan Penyu hijau yang berukuran sedang menghasilkan sekitar 60 butir
dalam satu kali mendarat. Di perkirakan perkawinan terjadi setelah penyu betina
bertelur dan kembali ke daerah habitat perkawinan (Ali, 2004).
Telur Penyu hijau ukuran diameternya sekitar 46
mm. Bentuk telur dari Penyu hijau ini berbentuk agak bulat, lembut dan
cukup lentur. Tukik merupakan anak penyu yang baru menetas, biasanya berwarna
hitam, sedangkan bagian bawahnya berwarna putih. Tukik Penyu hijau
bersifat omnivora, makanannya adalah ikan kecil. Saat menginjak usia
dewasa, jenis Penyu hijau ini beralih menjadi hewan herbivora, makanannya
berupa alga, rumput laut, ganggang dan daun bakau. Tukik Penyu hijau
sangat peka terhadap suhu lingkungan. Tukik dapat mengalami dehidrasi
(kekurangan cairan) jika tidak masuk ke dalam laut beberapa jam setelah menetas
dan berhasil menembus permukaan tanah, utamanya jika temperatur udara cukup
tinggi. Tukik dapat mati kepanasan pada suhu 37o C. perlu kita
ketahui bahwa dari beberapa pengamatan para ahli, dari 1000 butir telur yang
berhasil menetas menjadi tukik, hanya satu diantaranya yang berhasil bertahan
hidup sampai dewasa (Ali, 2004).
Ancaman
Populasi dan Kepunahan Penyu
Penyebab penurunan populasi secara drastis yang
dibenarkan oleh bahwa eksploitasi Penyu hijau tertinggi di dunia berada
di wilayah Indonesia. Tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan masyarakat
Indonesia telah mempercepat laju kepunahan Penyu hijau . Umumnya penangkapan
induk terjadi di laut lepas dan pemanenan telur di sekitar pantai peneluran.
Jika penangkapan induk dan pemanenan telur penyu secara berlebihan dan berlangsung
terus-menerus selama beberapa dekade berakibat pada kepunahan populasi.
Dibandingkan dengan kelima jenis penyu laut lainnya, Penyu hijau
paling intensif dieksploitasi karena daging dan telurnya digemari
masyarakat pesisir. Permintaan Penyu hijau yang tinggi disebabkan
beberapa alasan mulai dari konsumsi rumah tangga, sumber pendapatan masyarakat,
kepentingan adat hingga sumber Pendapatan Asli Daerah (Anonim, 2010).
Indikasi kegagalan perlindungan Penyu hijau
ditunjukkan oleh tingginya eksploitasi Penyu hijau di berbagai
wilayah Indonesia, penurunan jumlah penyu yang mendarat di pantai peneluran dan
rendahnya dukungan masyarakat. Ancaman kepunahan Penyu hijau semakin
nyata jika pemerintah tidak segera menghentikan eksploitasi Penyu hijau . Untuk
penyelamatan Penyu hijau dari kepunahan diperlukan analisis kebijakan
perlindungan dan perumusan alternatif perlindungan Penyu hijau di masa
mendatang. Eksploitasi yang tinggi dan implikasinya dapat dipandang dari
beberapa aspek, antara lain:
a) Aspek ekologi
−
Hilangnya kemampuan reproduksi populasi
Penangkapan induk dan pemanenan telur penyu secara
berlebihan akan menghilangkan kemampuan reproduksi populasi. Hilangnya
kemampuan reproduksi dapat ditandai dengan: (a) Jika konsumsi daging penyu
berasal dari penangkapan semua induk yang akan bertelur; (b) Jika terjadi
pemanenan semua telur yang ada di sarang. Apabila ekploitasi induk dan telur berlangsung secara terus-menerus
selama beberapa dekade akan menimbulkan kepunahan spesies Penyu hijau .
−
Kerusakan habitat
Penyu hijau adalah jenis herbivora yang
kelangsungan hidupnya tergantung pada keutuhan ekosistem terumbu karang.
Terumbu karang merupakan habitat feeding Penyu hijau
yang menyediakan berbagai jenis tumbuhan rumput laut. Penggunaan alat
tangkap yang merusak, seperti dinamit dan racun potasium yang dilakukan nelayan
telah menimbulkan hilangnya sumber pakan populasi Penyu hijau yang
berakibat ancaman kepunahan.
b) Aspek sosial
Kebiasaan bermigrasi jauh menjadikan populasi Penyu hijau
di laut sebagai sumberdaya open access. Situasi open
access diindikasikan oleh tidak ada pengelolaan dan tidak ada
kepemilikan yang membatasi pemanfaatan Penyu hijau . Sebagai satwa buruan yang
memiliki nilai ekonomis tinggi jika tidak ditangkap orang hari ini akan
ditangkap orang lain di lain hari. Eksploitasi secara berlebihan hingga
melampaui daya dukungnya akan mengarahkan kepunahan spesies dalam waktu dekat.
c) Aspek ekonomi
Penyu hijau merupakan spesies penyu laut yang
paling intensif dieksploitasi. Jika dibandingkan dengan harga per ekor ikan,
nilai ekonomis Penyu hijau tergolong tinggi (±1 juta rupiah/ekor untuk
ukuran induk). Tingginya eksploitasi Penyu hijau yang diawali sebagai
pemenuhan kebutuhan protein keluarga dan pendapatan masyarakat lokal. Dalam
perkembangannya eksploitasi penyu berkembang sebagai perdagangan Penyu hijau
ilegal yang melibatkan tata niaga dengan biaya transaksi yang tinggi.
d) Aspek budaya
Umumnya eksploitasi Penyu hijau sulit dihentikan
karena ada anggapan bahwa ketersediaan Penyu hijau di alam masih
berlimpah dan masyarakat tidak peduli akan status spesies dilindungi. Pada
kasus Sukabumi, penyu sebagai sumber protein murah dan mudah didapatkan di
daerah pantai. Mitos yang berkembang tentang khasiat daging dan telur penyu
telah menimbulkan peningkatan eksploitasi penyu dari tahun ke tahun. Pada kasus
Pulau Bali pengiriman penyu dari berbagai wilayah Indonesia berkaitan dengan
kepentingan adat. Adanya perdagangan penyu secara ilegal (black market)
di daerah Tanjung Benoa Bali merupakan bukti sulitnya menghentikan konsumsi
daging penyu untuk kepentingan adat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Penyu hijau adalah salah satu jenis penyu laut yang umum
dan jumlahnya lebih banyak di banding beberapa penyu lainnya. Sesuai
dengan namanya, warna tubuh, lemak dan dagingnya agak kehijau-hijauan. Penyu hijau
dewasa hidup di hamparan padang lamun dan ganggang. Berat
Penyu hijau dapat mencapai 400 kg, namun di Asia
Tenggara yang tumbuh paling besar sekitar separuh ukuran ini. Penyu
hijau di Barat Daya kepulauan Hawai kadang kala ditemukan mendarat pada
waktu siang untuk berjemur panas. Anak-anak Penyu hijau (tukik),
setelah menetas, akan menghabiskan waktu di pantai untuk mencari makanan. Tukik
Penyu hijau yang berada di sekitar Teluk
California hanya memakan alga merah. Penyu hijau
akan kembali ke pantai asal ia dilahirkan untuk bertelur setiap 3 hingga
4 tahun sekali. Penyu hijau merupakan satwa
yang unik, karena secara insting, merekan akan hidup dan kembali bertelur ke
tempat dimana mereka ditetaskan.
Daftar Pustaka
Ali, Z.M. 2004. Karya Ilmiah Pelestarian Penyu Hijau di Pantai Selatan
Tasikmalaya. Karya Ilmiah Tentang
Pelestarian Penyu Hijau :
Tasikmalaya.
Nuitja, I., N.,
S., 1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Tanjung,Yonatan, Suherman, Misnawati, Rostina. 2001. Studi Tingkah Laku Bertelur dan Keberhasilan Penetasan Secara Alamiah di Pulau Sangalaki Kecamatan Derawan. Kabupaten Berau. Laporan Penelitian Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unmul: Samarinda.
Tanjung,Yonatan, Suherman, Misnawati, Rostina. 2001. Studi Tingkah Laku Bertelur dan Keberhasilan Penetasan Secara Alamiah di Pulau Sangalaki Kecamatan Derawan. Kabupaten Berau. Laporan Penelitian Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unmul: Samarinda.
Azkab, M. H. 1994. Komunitas
Padang Lamun pada Tiga Pulau dari Kepulauan Seribu dengan Kegiatan Manusia yang
Berbeda. Makalah Penunjang pada Seminar Pemantauan Pencemaran Laut. Jakarta,
7-9 Februari 1994. Puslitbang Oseanologi LIPI, Jakarta. hal. 93-98.
Barber, B.J.1985. Effects of elevated temperature on seasonal in situ leaf productivity of Thalassia testudinum banks ex konig and Syringodium fliforme kutzing. Aquatic Botany 22:61-69.
Bengen,D.G. 2001. Sinopsis ekosistem dan sumberdaya alam pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Instititut Pertanian Bogor.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 412 halaman.
Barber, B.J.1985. Effects of elevated temperature on seasonal in situ leaf productivity of Thalassia testudinum banks ex konig and Syringodium fliforme kutzing. Aquatic Botany 22:61-69.
Bengen,D.G. 2001. Sinopsis ekosistem dan sumberdaya alam pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Instititut Pertanian Bogor.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 412 halaman.